Kamis, 21 Agustus 2008

Lama nih gak nulis (halah padahal baru 3 hari yg lalu nulis ), mau nulis apa bingung
mau nulis tentang politik takut disalah kan, nanti dibilang sok tau, nulis tentang masalah agama, bukan bidang saya untuk membahas agama, krna saya belum cukup ilmu agama untuk membahas tentang agama, jadi lebih baik saya membahas tentang film ajh dech, sebenar nya jadi saya mau nulis tentang film krna kmren temn saya di friendster yg bernama
musicordinary menganjur kan saya menonton film "into the wild", padahal saya sudah menonton tuh film dua kali, pas saya periksa2 koleksi DVD saya ternyata masih ada, masih tersimpan rapi, jadi saya memutus kan untuk memutar kembali film yg rilis tahun 2007 ini.
Tulisan ku ini mengangkat dari film yg di ambil dari kisah nyata bikinan om "Sean Penn"
yg di angkat dari buku karangan "john Krakauer" yang menjadi dasar adaptasi film "into the wild"

Biografi pemuda bernama Christopher McCandless ini meraih bestseller sejak peluncuran tahun 1996. Butuh 10 tahun bagi Penn untuk mengangkatnya ke layar lebar, karena menunggu izin keluarga McCandless.

Film dimulai saat Chris (Emile Hirsch) sudah berada di keliaran alam bersalju Alaska, tujuan utama petualangannya. Langkah kaki Chris berakhir di depan sebuah bus rongsok yang terdampar di area terbuka di sela-sela kerimbunan hutan cemara. Setelah memeriksa dengan cermat, Chris pun memutuskan tinggal di bus yang dia namai Magic Bus itu.


Lalu adegan berputar balik ke masa dua tahun sebelumnya,1990, saat wisuda kelulusan Chris dari Emory University di Atlanta. Kedua orangtua Chris (diperankan sangat baik oleh William Hurt dan Marcia Gay Harden ) sudah punya rencana masa depan bagi anak pertama mereka. Salah satunya dengan memberi Chris mobil baru dan tawaran pekerjaan.

Chris menolak semua rencana materialistik sang orangtua. Ia muak dengan segala tatanan sosial kelas menengah yang menyelubungi kehidupannya sejak kecil. Chris memilih minggat. Tanpa sepatah kata pamit, pun secarik surat. Ia ingin lepas dari ikatan kehidupan masyarakat dengan berpetualang menjelajahi alam bebas di seantero Amerika Serikat.

Sebelum memulai pengembaraan, Chris menyumbangkan seluruh tabungannya, US$ 24.000, ke lembaga sosial Oxfam. Ia juga menggunting semua kartu kredit dan membakar kartu identitas serta jaminan sosial. Nama Alexander Supertramp menjadi identitas baru selama berpetualang menuju ke wilayah barat Amerika.

 
Sepanjang jalan, Chris bertemu dan tinggal bersama beberapa orang yang kelak mengubah hidupnya. Ada pasangan hippie Jen (Catherine Keener) dan Rainey (Brian Dieker), petani gandum dan jagung Wayne (Vince Vaughn), hingga duda tua pengrajin kulit Ron Franz (Hal Holbrook). Pertemuan dengan mereka menunjukkan Chris pada sebuah kesadaran, dalam sebuah petualangan yang terpenting adalah perjalanan, bukan tempat yang dituju.

Pengambilan gambar film ini dilakukan langsung di lokasi asli yang pernah disinggahi Chris. Mulai Arizona, California, South Dacota, hingga Meksiko. Malah untuk Alaska, kru film sampai bolak-balik empat kali demi mendapat gambar sesuai dengan musim.

Tak mengherankan jika sajian pemandangan alam dalam Into The Wild tergolong spektakuler. Penn memilih pola pengambilan gambar laiknya film dokumenter dalam Discovery Channel atau National Geographic. Meski tanpa kemasan romantis, pemandangan seperti pegunungan batu, sungai, padang rumput, hamparan ladang gandum dan jagung, serta hutan belantara tampak begitu indah.

Lalu mengalirlah sederet pujian dari para kritikus ke film berdurasi 2 jam 25 menit ini. Berbagai penghargaan untuk beragam kategori dari Sao Paulo International Film Festival, Satellite Awards, hingga National Board of Review Amerika pun disabet. Lagu Guaranteed yang dinyanyikan oleh Eddie Vedder dan music score Into The Wild masuk nominasi Golden Globe 2008 untuk kategori original song dan original score.

Sebagian pujian mengarah pada kematangan Penn saat menyajikan sosok Chris. Meski secara personal kagum pada petualangan Chris, Penn tak terjebak menokohkan Chris sebagai sosok pahlawan tanpa cela.

Chris tampil sebagai pemuda cerdas sekaligus naif. Pemuda yang marah pada tatanan sosial lalu nekat berpetualang tanpa perhitungan matang. Hanya demi mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan dalam kesendirian di alam bebas.

Pada akhirnya, penonton tak diarahkan untuk menyukai atau membenci Chris. Tak ada upaya menghakimi perilakunya. Saya pun tak yakin apakah menyukai sosok Chris. Namun yang pasti saya menaruh simpati padanya dan bisa mengerti mengapa Chris memilih nekat berpetualang.

Apalagi, di penghujung hayatnya yang singkat, akhirnya Chris menemukan makna hidup. Kalimat terakhir dalam jurnalnya adalah:
"happiness only real when shared. Kebahagiaan tiada berarti tanpa kehadiran orang lain untuk berbagi".


Dan yang paling mengena adalah ketika kakek Ron bilang,"Mencintai berarti memaafkan, saat engkau memaafkan maka kau akan merasakan cinta itu"..

Tapi sayang nya sad ending, bikin gimana gitu...

heheheee.......

Tidak ada komentar: